Imam Al Baihaqi, yang berjulukan lengkap Imam Al-Hafith Al-Mutaqin Abu Bakr Ahmed ibn Al-Hussein ibn Ali ibn Musa Al Khusrujardi Al-Baihaqi, yaitu seorang ulama besar dari Khurasan (desa kecil di pinggiran kota Baihaq) dan penulis banyak buku terkenal.
Para ulama itu tinggal di aneka macam kawasan terpencar. Oleh karenanya, Imam Baihaqi harus menempuh jarak cukup jauh dan menghabiskan banyak waktu untuk sanggup bermajelis dengan mereka. Namun, semua itu dijalani dengan bahagia hati, demi memuaskan dahaga batinnya terhadap ilmu Islam.
As-Sabki menyatakan: "Imam Baihaqi merupakan satu di antara sekian banyak imam terkemuka dan memberi petunjuk bagi umat Muslim. Dialah pula yang sering kita sebut sebagai 'Tali Allah' dan mempunyai pengetahuan luas mengenai ilmu agama, fikih serta penghapal hadits."
Abdul-Ghaffar Al-Farsi Al-Naisabouri dalam bukunya "Thail Tareekh Naisabouri": Abu Bakr Al-Baihaqi Al Hafith, Al Usuli Din, menghabiskan waktunya untuk mempelajari bermacam-macam ilmu agama dan ilmu pengetahuan lainnya. Dia berguru ilmu aqidah dan bepergian ke Irak serta Hijaz (Arab Saudi) kemudian banyak menulis buku.
Imam Baihaqi juga mengumpulkan Hadits-hadits dari bermacam-macam sumber terpercaya. Pemimpin Islam memintanya pindah dari Nihiya ke Naisabor untuk tujuan mendengarkan penjelasannya pribadi dan mengadakan bedah buku. Maka di tahun 441, para pemimpin Islam itu membentuk sebuah majelis guna mendengarkan klarifikasi mengenai buku 'Al Ma'rifa'. Banyak imam terkemuka turut hadir.
Imam Baihaqi hidup saat kekacauan sedang marak di aneka macam negeri Islam. Saat itu kaum muslim terpecah-belah menurut politik, fikih, dan pemikiran. Antara kelompok yang satu dengan yang lain berusaha saling menyalahkan dan menjatuhkan, sehingga mempermudah musuh dari luar, yakni bangsa Romawi, untuk menceraiberaikan mereka. Dalam masa krisis ini, Imam Baihaqi hadir sebagai pribadi yang berkomitmen terhadap fatwa agama. Dia menawarkan teladan bagaimana seharusnya menerjemahkan fatwa Islam dalam sikap keseharian.
Sementara itu, dalam Wafiyatul A'yam, Ibnu Khalkan menulis, "Dia hidup zuhud, banyak beribadah, wara', dan mencontoh para salafus shalih."
Beliau terkenal sebagai seorang yang mempunyai kecintaan besar terhadap hadits dan fikih. Dari situlah kemudian Imam Baihaqi terkenal sebagai pakar ilmu hadits dan fikih.
Setelah sekian usang menuntut ilmu kepada para ulama senior di aneka macam negeri Islam, Imam Baihaqi kembali lagi ke kawasan asalnya, kota Baihaq. Di sana, dia mulai membuatkan aneka macam ilmu yang telah didapatnya selama mengembara ke aneka macam negeri Islam. Ia mulai banyak mengajar.
Selain mengajar, dia juga aktif menulis buku. Dia termasuk dalam gugusan para penulis buku yang produktif. Diperkirakan, buku-buku tulisannya mencapai seribu jilid. Tema yang dikajinya sangat beragam, mulai dari akidah, hadits, fikih, sampai tarikh. Banyak ulama yang hadir lebih kemudian, yang mengapresiasi karya-karyanya itu. Hal itu karena pembahasannya yang demikian luas dan mendalam.
Meski dipandang sebagai andal hadits, namun banyak kalangan menilai Baihaqi tidak cukup mengenal karya-karya hadits dari Tirmizi, Nasa'i, dan Ibn Majah. Dia juga tidak pernah berjumpa dengan buku hadits atau Masnad Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali). Dia memakai Mustadrak al-Hakim karya Imam al-Hakim secara bebas.
Menurut ad-Dahabi, seorang ulama hadits, kajian Baihaqi dalam hadits tidak begitu besar, namun dia mahir meriwayatkan hadits alasannya yaitu benar-benar mengetahui sub-sub bab hadits dan para tokohnya yang telah muncul dalam isnad-isnad (sandaran atau rangkaian perawi hadits).
Di antara karya-karya Baihaqi, Kitab as-Sunnan al-Kubra yang terbit di Hyderabat, India, 10 jilid tahun 1344-1355, menjadi karya paling terkenal. Buku ini pernah menerima penghargaan tertinggi.
Dari pernyataan as-Subki, andal fikih, seruan fikih serta hadits, tidak ada yang lebih baik dari kitab ini, baik dalam adaptasi susunannya maupun mutunya.
Dalam karya tersebut ada catatan-catatan yang selalu ditambahkan mengenai nilai-nilai atau hal lainnya, menyerupai hadits-hadits dan para andal hadits. Selain itu, setiap jilid cetakan Hyderabat itu memuat indeks yang berharga mengenai tokoh-tokoh dari tiga generasi pertama ahli-ahli hadits yang dijumpai dengan disertai petunjuk periwayatannya.
Itulah di antara sumbangsih dan peninggalan berharga dari Imam Baihaqi. Dia mewariskan ilmu-ilmunya untuk ditanamkan di dada para muridnya. Di samping telah pula mengabadikannya ke dalam aneka macam bentuk karya tulis yang sampai kini pun tidak usai-usai juga dikaji orang.
Imam terkemuka ini meninggal dunia di Nisabur, Iran, tanggal 10 Jumadilawal 458 H (9 April 1066). Dia lantas dibawa ke tanah kelahirannya dan dimakamkan di sana. Penduduk kota Baihaq berpendapat, bahwa kota merekalah yang lebih patut sebagai kawasan peristirahatan terakhir seorang pecinta hadits dan fikih, menyerupai Imam Baihaqi.
Sejumlah buku penting lain telah menjadi peninggalannya yang tidak ternilai. Antara lain buku "As-Sunnan Al Kubra", "Sheub Al Iman", "Tha La'il An Nabuwwa", "Al Asma wa As Sifat", dan "Ma'rifat As Sunnan cal Al Athaar".
Baca Juga : Sejarah Singkat Imam Tirmizi
Imam Al Baihaqi
Masa pendidikannya dijalani bersama sejumlah ulama terkenal dari aneka macam negara, di antaranya Iman Abul Hassan Muhammed ibn Al-Hussein Al Alawi, Abu Tahir Al-Ziyadi, Abu Abdullah Al-Hakim, penulis kitab "Al Mustadrik of Sahih Muslim and Sahih Al-Bukhari", Abu Abdur-Rahman Al-Sulami, Abu Bakr ibn Furik, Abu Ali Al-Ruthabari of Khusran, Halal ibn Muhammed Al-Hafaar, dan Ibn Busran.Para ulama itu tinggal di aneka macam kawasan terpencar. Oleh karenanya, Imam Baihaqi harus menempuh jarak cukup jauh dan menghabiskan banyak waktu untuk sanggup bermajelis dengan mereka. Namun, semua itu dijalani dengan bahagia hati, demi memuaskan dahaga batinnya terhadap ilmu Islam.
As-Sabki menyatakan: "Imam Baihaqi merupakan satu di antara sekian banyak imam terkemuka dan memberi petunjuk bagi umat Muslim. Dialah pula yang sering kita sebut sebagai 'Tali Allah' dan mempunyai pengetahuan luas mengenai ilmu agama, fikih serta penghapal hadits."
Abdul-Ghaffar Al-Farsi Al-Naisabouri dalam bukunya "Thail Tareekh Naisabouri": Abu Bakr Al-Baihaqi Al Hafith, Al Usuli Din, menghabiskan waktunya untuk mempelajari bermacam-macam ilmu agama dan ilmu pengetahuan lainnya. Dia berguru ilmu aqidah dan bepergian ke Irak serta Hijaz (Arab Saudi) kemudian banyak menulis buku.
Imam Baihaqi juga mengumpulkan Hadits-hadits dari bermacam-macam sumber terpercaya. Pemimpin Islam memintanya pindah dari Nihiya ke Naisabor untuk tujuan mendengarkan penjelasannya pribadi dan mengadakan bedah buku. Maka di tahun 441, para pemimpin Islam itu membentuk sebuah majelis guna mendengarkan klarifikasi mengenai buku 'Al Ma'rifa'. Banyak imam terkemuka turut hadir.
Imam Baihaqi hidup saat kekacauan sedang marak di aneka macam negeri Islam. Saat itu kaum muslim terpecah-belah menurut politik, fikih, dan pemikiran. Antara kelompok yang satu dengan yang lain berusaha saling menyalahkan dan menjatuhkan, sehingga mempermudah musuh dari luar, yakni bangsa Romawi, untuk menceraiberaikan mereka. Dalam masa krisis ini, Imam Baihaqi hadir sebagai pribadi yang berkomitmen terhadap fatwa agama. Dia menawarkan teladan bagaimana seharusnya menerjemahkan fatwa Islam dalam sikap keseharian.
Sementara itu, dalam Wafiyatul A'yam, Ibnu Khalkan menulis, "Dia hidup zuhud, banyak beribadah, wara', dan mencontoh para salafus shalih."
Beliau terkenal sebagai seorang yang mempunyai kecintaan besar terhadap hadits dan fikih. Dari situlah kemudian Imam Baihaqi terkenal sebagai pakar ilmu hadits dan fikih.
Setelah sekian usang menuntut ilmu kepada para ulama senior di aneka macam negeri Islam, Imam Baihaqi kembali lagi ke kawasan asalnya, kota Baihaq. Di sana, dia mulai membuatkan aneka macam ilmu yang telah didapatnya selama mengembara ke aneka macam negeri Islam. Ia mulai banyak mengajar.
Selain mengajar, dia juga aktif menulis buku. Dia termasuk dalam gugusan para penulis buku yang produktif. Diperkirakan, buku-buku tulisannya mencapai seribu jilid. Tema yang dikajinya sangat beragam, mulai dari akidah, hadits, fikih, sampai tarikh. Banyak ulama yang hadir lebih kemudian, yang mengapresiasi karya-karyanya itu. Hal itu karena pembahasannya yang demikian luas dan mendalam.
Meski dipandang sebagai andal hadits, namun banyak kalangan menilai Baihaqi tidak cukup mengenal karya-karya hadits dari Tirmizi, Nasa'i, dan Ibn Majah. Dia juga tidak pernah berjumpa dengan buku hadits atau Masnad Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali). Dia memakai Mustadrak al-Hakim karya Imam al-Hakim secara bebas.
Menurut ad-Dahabi, seorang ulama hadits, kajian Baihaqi dalam hadits tidak begitu besar, namun dia mahir meriwayatkan hadits alasannya yaitu benar-benar mengetahui sub-sub bab hadits dan para tokohnya yang telah muncul dalam isnad-isnad (sandaran atau rangkaian perawi hadits).
Di antara karya-karya Baihaqi, Kitab as-Sunnan al-Kubra yang terbit di Hyderabat, India, 10 jilid tahun 1344-1355, menjadi karya paling terkenal. Buku ini pernah menerima penghargaan tertinggi.
Dari pernyataan as-Subki, andal fikih, seruan fikih serta hadits, tidak ada yang lebih baik dari kitab ini, baik dalam adaptasi susunannya maupun mutunya.
Dalam karya tersebut ada catatan-catatan yang selalu ditambahkan mengenai nilai-nilai atau hal lainnya, menyerupai hadits-hadits dan para andal hadits. Selain itu, setiap jilid cetakan Hyderabat itu memuat indeks yang berharga mengenai tokoh-tokoh dari tiga generasi pertama ahli-ahli hadits yang dijumpai dengan disertai petunjuk periwayatannya.
Itulah di antara sumbangsih dan peninggalan berharga dari Imam Baihaqi. Dia mewariskan ilmu-ilmunya untuk ditanamkan di dada para muridnya. Di samping telah pula mengabadikannya ke dalam aneka macam bentuk karya tulis yang sampai kini pun tidak usai-usai juga dikaji orang.
Imam terkemuka ini meninggal dunia di Nisabur, Iran, tanggal 10 Jumadilawal 458 H (9 April 1066). Dia lantas dibawa ke tanah kelahirannya dan dimakamkan di sana. Penduduk kota Baihaq berpendapat, bahwa kota merekalah yang lebih patut sebagai kawasan peristirahatan terakhir seorang pecinta hadits dan fikih, menyerupai Imam Baihaqi.
Sejumlah buku penting lain telah menjadi peninggalannya yang tidak ternilai. Antara lain buku "As-Sunnan Al Kubra", "Sheub Al Iman", "Tha La'il An Nabuwwa", "Al Asma wa As Sifat", dan "Ma'rifat As Sunnan cal Al Athaar".
Baca Juga : Sejarah Singkat Imam Tirmizi